Berdasarkan Al Qur’an As Sunnah sebagai rujukan utama ummat Islam telah menampilkan 5 (lima) terminologi tentang kepemimpinan, yaitu :
1. Al-Imam (QS, 25 : 74), bentuk jamaknya adalah al-aimmah, sebagaimana disebutkan dalam hadits Shahih Bukhari Muslim. Imam artinya pemimpin yang berada di depan (amaam). Istilah ini disamping populer dipergunakan selain untuk kepemimpinan politik dan intelektual, ia juga dipakai untuk kepemimpinan dalam sholat berjama’ah.
2. Al-Khalifah, bermakna pemimpin yang mewakili, menggantikan dan siap diganti oleh pelanjutnya (QS, 2 : 30). Karena para Khulafaur Rasyidin selain menggantikan Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam sebagai pemimpin, mereka juga melanjutkan risalah beliau, bahkan siap dan rela bila kepemimpinannya dilanjutkan oleh pemimpin-pemimpin berikutnya. Dari terminologi diatas, seorang pemimpin haruslah dalam posisi tidak melanggengkan kekuasaannya, melainkan ia selalu beraktivitas bijak termasuk mempersiapkan keberlanjutan kepemimpinannya ke generasi berikutnya.
3. Al-Malik, artinya raja. Hanya saja Al Qur’an mengaitkan status ini dengan hakikat kerajaan sepenuhnya milik Allah saja. Sementara kekuasaan kerajaan yang diberikan kepada manusia hanyalah bersifat nisbi, yang semestinya digunakan untuk merealisir kemaslahatan kehidupan. Diantara kemaslahatan tersebut adalah memunculkan kesentausaan bagi sang Raja dan bagi rakyatnya, dengan sepenuhnya melaksanakan ketentuan-ketentuan Allah. Karenanya Allah menegaskan bahwa Dia lah Raja dari para Raja. Oleh karenanya para raja di dunia ini haruslah menselaraskan diri dengan hakikat kekuasaan yang mereka miliki dan tidak melampauinya agar tidak muncul kehinaan dan kezaliman bagi kemanusiaan. Hal ini jelas diungkap dalam QS. 3 : 26.
4. Al-Amir artinya adalah seorang pemimpin yang dapat memerintah. Ia pun berarti ism maf’ul (ojek) sehingga bermakna pemimpin yang dapat dikoreksi oleh rakyatnya atau diperintah untuk memperbaiki diri oleh rakyatnya. Seorang pemimpin dalam terminologi ini adalah seorang pemberani dan berwibawa, sehingga ia dapat efektif memerintah melalui perintahnya yang ditaati rakyat, ketika perintahnya itu benar. Ia dapat berlapang dada untuk menerima perintah dari rakyat melalui koreksinya.
5. Ar-Ra’i artinya adalah pemimpin yang senantiasa memberikan perhatian kepada ra’iyah (rakyat) (HR. Bukhari Muslim). Dalam hadits Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam sering mengingatkan bahwa peran kepemimpinan yang selalu peduli kepada rakyatnya itu adalah di seluruh level kepemimpinan. Beliau pun mengaitkan langsung korelasi positif timbal balik antara’i dan ra’iyahnya. Keakraban semacam inilah yang bila dilakukan seorang pemimpin tentu akan menciptakan iklim kepemimpinan yang penuh empati, kepedulian dan kedekatan dengan rakyat. Oleh karenanya sang pemimpin tidak akan berlaku zalim, aniaya dan semena-mena dalam kebijakannya kepada rakyat (Dr. HM. Hidayat Nur Wahid, tt : 166).
Jika berbicara tentang kepemimpinan secara mendalam, memang banyak ragam yang harus diurai, tetapi dalam hal ini kita hanya membatasi pada macamnya pemimpin, potensi kepemimpinan, budaya menjadi pemimpin dan kepemimpinan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, sebagai berikut :
a. Macamnya Pemimpin
1) Pemimpin Formal
Pemimpin formal ini adalah orang yang secara resmi diangkat dalam jabatan kepemimpinan, teratur dalam suatu organisasi pemerintahan secara hiarki, tergambar dalam suatu gambar bagan yang tergantung di kantor-kantor kepemimpinan ini lazimnya tidak dengan sendirinya memberikan jaminan bahwa orang yang diangkat menjadi pemimin formal tersebut akan dapat diterima juga oleh anggota organisasinya sebagai pimpinan yang sesungguhnya. Hal ini masih diuji dalam praktek.
2) Pemimpin Non Formal
Kepemimpinan ini adalah seperti dalam organisasi non pemerintah tetapi juga punya hiarki. Pengangkatannya tergantung pada musyawarah misalnya HIPMI, IWAPI dan lain sebagainya.
3) Pimpinan Informal
Kepemimpinan ini tidak mempunyai dasar pengangkatan resmi, tidak jelas tergambar dalam hiarki. Pemimpin informal ini (informal leader) adalah seorang individu (pria atau wanita) yang walaupun tidak mendapat pengangkatan secara yuridis formal sebagai pemimpin, memiliki sejumlah kualitas (objektif dan subjektif), yang memungkinkan mencapai kedudukan sebagai orang yang dapat mempengaruhi kelakuan serta tindakan sesuatu kelompok masyarakat baik dalam arti positif maupun negatif.
Dalam kalangan Islam kepemimpinan informal mendapat tempat tersendiri di hati ummat, misalnya dengan banyaknya ulama, ustadz, dan lainnya (Dra. Hj. Mahmudah, 2003 : 19).
b. Potensi Kepemimpinan
Kepemimpinan dalam Islam adalah tanggung jawab dan pelayanan yang utuh untuk dinullah. Keberhasilan dakwah banyak bergantung banyak tumbuhnya shaf pendukung yang memiliki kejelasan dan tanggung jawab pembagian tugas dan sistem perekrutan yang baik (organisasi yang teratur), karena hal ini sangat menentukan tercapainya tujuan, sebagaimana yang dikatakan oleh Saidina Ali Karramallahu wajhah : “Al-Haqqu billa nidzom sayaglibuhul bathilu binnidzom“. Artinya : “Kebenaran yang tidak terorganisir secara rapi dapat dikalahkan oleh kebathilan yang terorganisir dengan rapi“.
Dari sini semua membutuhkan pemimpin yang adil, berilmu dan terampil dan menguasai permasalahan, sebagaimana Nabi Yusuf Alaihissalam, tersebut dalam Al Qur’an surah Yusuf ayat 55 :
Artinya : Berkata Yusuf, “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir) sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan“.
Menurut H. Agus Hidayat Nur dalam bukunya “Urgensi Tarbiyah dalam Harokah Islamiyah”, halaman 41, ada beberapa ciri yang menunjukkan kemampuan memimpin seseorang :
1) Mampu untuk mengikat dengan pemikiran dan kepribadiannya.
2) Kerja yang terus menerus dan berlanjut serta sabar dan tidak mudah putus asa.
3) Lembut bukan karena lemah dan kuat bukan karena nekat / kalap serta tidak ceroboh dan mampu berbicara sesuai dengan kebutuhan.
4) Sangat menginginkan keimanan dan keselamatan bagi saudaranya dan selalu memperhatikan saudaranya.
5) Mampu mengarahkan seorang menjadi dinamis dan rukun.
6) Mendidik, mengarahkan dan menjaga kader-kadernya dari kebinasaan.
7) Pandai membagi waktu, waspada, cerdik (cepat dan tepat merespon setiap kejadian) serta memiliki bashirah (mata hati) dengan segala potensinya inilah seorang pemimpin dengan idzin Allah mampu membawa organisasinya melangkah benar.
Uraian diatas dapat ditarik natijahnya sebagai gambaran calon dan pemimpin yang ahli atau pemimpin yang berbudaya. Karena apa, ada juga istilah banyak orang tidak berbudaya menjadi pemimpin. Dimaksud budaya disini ialah perbuatan manusia yang didasarkan pada akhlak mulia dan ilmu pengetahuan. Bila manusia dalam berbuat dan bertindak meninggalkan akhlak dan ilmu pengetahuan, hanya karena dorongan nafsu semata, dia dikatakan tidak lagi berbudaya. Hadist Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam, yang artinya :Dari Abdullah ibn Abbas, ujarnya : Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda : “Kalau engkau telah menyaksikan budak perempuan melahirkan anak majikannya dan orang-orang gunung yang berkaki telanjang menjadi pemimpin masyarakat, itu pertanda datangnya kiamat” (HR. Ahmad). Pada akhir riwayat Ahmad menambahkan : (Ibnu Abbas) bertanya : “Wahai Rasulullah, siapakah orang-orang gunung yang berkaki telanjang itu ?” Sabdanya : “Orang Arab (Badui)”.
Dalam hadist tersebut Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam menyatakan bahwa kelak akan terjadi budak akan melahirkan anak majikannya dan muncul orang-orang gunung yang berkaki telanjang menjadi pemimpin ummatnya atau bangsanya. Munculnya orang gunung berkaki telanjang memimpin ummat atau bangsanya pertanda munculnya zaman edan. Orang gunung berkaki telanjang adalah orang Arab (Badui), sikap orang Badui antara seperti : keras kepala (penantang), tidak teguh pendirian, suka tergesa-gesa dan tidak memperdulikan akhlak.
Istilah orang Badui bisa bermakna hakiki, bisa juga bermakna simbolik, yaitu orang yang tidak berbudaya, tidak berakhlak dan tidak berilmu pengetahuan.
Hakikat pemimpin tidak berbudaya yang diantaranya lahir dari orang-orang gunung berkaki telanjang dan oleh Rasul Allah disebut sebagai orang Badui, adalah para pemimpin yang tidak mampu menjalankan roda pemerintahan benar dan hanya main coba-coba.
Munculnya pemimpin yang berkepribadian Badui menjadikan masyarakat bingung, karena apa saja yang dilakukan pemimpinnya tidak dapat memberikan ketentraman dan ketenangan. Masyarakat menjadi korban ketidakbijaksanaan mereka sehingga kehidupan mereka menjadi kacay, menderita kelaparan, kekacauan, kesengsaraan. Sikapnya menjadikan masyarakat tidak lagi mempercayai.
Jika dihubungkan dengan fenomena, banyak orang yang mencari jabatan ingin jadi pemimpin. Untuk bermimpi dalam jabatan tidak ada larangan tetapi alangkah baiknya, membaca lebih dahulu syarat-syarat dari Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam, sebagai berikut :
1)Pertama, jangan ambisius untuk meraih jabatan / pimpinan, apalahi dengan kepentingan nafsu (dendam), baik pribadi ataupun golongan. Sebab perilaku demikian akan menghilangkan jaminan pertolongan Allah Subhanahu Wata’ala. Nabi Besar Muhammad Shallallahu alaihi wasallam telah memberikan pandangan : “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta jabatan, sebab jika engkau diberi jabatan karena meminta, maka engkau akan ditinggalkan untuk mengurusinya sendiri. Dan jika engkau diberi jabatan itu bukan karena meminta, maka engkau akan dibantu (Allah) untuk menunaikannya” (HR. Bukhari).
Memang motivasi nafsu pribadi dari calon pejabat / pimpinan, tidak ia sampaikan terus terang, sebab hal itu berarti fatal. Tetapi Rasul Allah punya alat deteksi dari pelaku calon yang datang kesana kemari mencari dukungan, mencari rekomendasi ke berbagai pihak agar terpilih. Beliau bersabda : “Barangsiapa mencari kekuasaan dan dia meminta rekomendasi / dukungan dari berbagai pihak, maka ia akan ditinggalkan untuk mengurusinya sendiri. Dan bila ia dipaksa untuk memegang jabatan itu, maka Allah akan turunkan malaikat untuk membimbingnya” (HR. Al-Bazzar).
Oleh karena itu sebagai ummat Islam tidaklah sepatutnya menyerahkan amanah atau pilihannya kepada calon pejabat semacam ini. Memang belum disepakati haram, tetapi moralitas yang tinggi pasti menghadang untuk memilih dengan profil demikian.
2)Kedua, capable (mampu). Dalam kondisi dimana seorang muslim melihat dirinya secara objektif mempunyai potensi untuk menjabat, maka boleh mengajukan diri dengan syarat betul-betul bebas dari nafsu dan demi menegakkan keadilan. Contohnya adalah apa yang dilakukan oleh Nabi Yusuf Alaihissalam dengan mengajukan diri kepada Raja Rayyan Ibn Al-Walid untuk menjadi bendahara negara, hingga dapat mendistribusikan kekayaan negara dengan adil.
Untuk membatasi uraian tentang kepemimpinan ini, dirasa perlu juga menguraikan tentang kepemimpinan Rasulullah secara kilas, semoga bisa menjadi contoh, karena memang Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam adalah sebagai ikutan atau contoh yang paling baik. Kenyataan yang pertama dalam kepribadian Nabi Besar Muhammad Shallallahu alaihi wasallam, sebagai manusia yang kepemimpinannya patut diteladani adalah ketangguhan beliau untuk menjadi pribadi yang tidak dipengaruhi oleh keadaan masyarakat di sekitarnya. Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam, lahir, besar dan dewasa di tengah-tengah masyarakat Arab jahilliyah, masyarakat yang terdiri dari manusia-manusia berakhlak buruk. Tetapi kenyataannya menunjukkan sebaliknya bahwa beliau manusia istimewa dengan kepribadian yang tidak larut dan tidak pula hanyut di dalam arus yang buruk itu. Beliau telah mendapat gelar Al-Amin, orang yang jujur dan terpercaya. Kepribadian seperti itu merupakan dasar atau landasan yang kokoh bagi seorang pemimpin.
Silahkan untuk Memberi komentar dan Masukan bagi terjalinnya komunikasi dan kekeluargaan fh unpas
Tag :
pendidikan agama islam,
SEMESTER 1
0 Komentar untuk "Kepemimpinan Menurut Al-Quran"